Rabu, 20 November 2013

Kecemasan dan Gangguan citra tubuh


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat langsung seperti pada masalah kesehatan fisik, memperlihatkan gejala yang berbeda, dan muncul oleh berbagai  penyebab. Kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul gejala yang berbeda. Banyak klien dengan masalah kesehatan jiwa tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan mungkin menceritakan hal yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk berperan dalam menyelesaikan masalah juga bervariasi (Depkes RI. 1993).
Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Hal ini penting karena peran perawat dalam asuhan keperawatan jiwa adalah membantu klien untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai kemampuan yang dimiliki. Klien mungkin menghindar atau menolak berperan serta dan perawat mungkin cenderung membiarkan, khususnya pada klien yang tidak menimbulkan keributan dan yang tidak membahayakan (Depkes RI. 1993).
B.    Tujuan Penulisan
1.      Tujuan umum
 Mahasiswa mampu mengerti tentang “ASUHAN KEPERAWATAN KECEMASAN DAN  GANGGUAN CITRA TUBUH ”
2.      Tujuan Khusus
a.   Mampu memahami tentang pengertian dan semua teori kecemasan dan gangguan citra tubuh.
b.   Mampu memahami tentang proses keperawatan pada klien dengan kecemasan dan gangguan citra tubuh.
C.    Metode Penulisan
Metode Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah menggunakan metode kepustakaan. Dalam metode ini para penyusun membaca buku-buku yang berhubungan dengan makalah ini.
D.    Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematika yang terdiri dari tiga bab yaitu :
Bab I    :      Berisi tentang Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II   :      Berisi Tinjauan Teoritis, yang berisi  tentang konsep dasar terdiri dari pengertian kecemasan dan gangguan citra tubuh ,Tanda dan gejala kecemasan , faktor- faktor yang memepengaruhi citra tubuh, asuhan keperawatan kecemasan dan gangguan citra tubuh.
Bab III  :      Berisi Penutup, yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian akhir makalah ini penulis cantumkan juga daftar pustaka.



BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.   Pengertian kecemasan 
    Ansietas menurut Stuart (1995) dalam Sujono (2009) adalah kekhwatiran yang tidak jelas  dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik (Sujono, 2009). 

    Ansietas (cemas) adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan dapat dibenarkan yang sering disertai gejala fisiologis, sedangkan pada gangguan ansietas terkandung unsur penderitaan yang bermakna dan gangguan fungsi yang disebabkan oleh kecemasan tersebut (Sujono, 2009).
B.   Tanda dan Gejala Ansietas 
     Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu :
1.   Fase 1 
Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin. Oleh karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan.  Pada fase ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi yang ada secara benar.
2.    Fase 2
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada motivasi diri. Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak keras dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 1988). Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu.
3. Fase 3
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres.  Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti : intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Hawan. D. 2004).
C.Tingkat Ansietas 
     Tingkatan ansietas menurut Stuart (2006) dibagi menjadi 4 yaitu :
1.   Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, ansietas pada tingkat ini menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
2.   Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan padahal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih banyak jika diberi arahan.
3.   Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsinya seseorang. Individu cenderung untuk berfokus pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir tentang yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat berfokus pada suatu area lain.
4.   Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian dan terjadi peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pe3mikiran yang rasional (Sujono, 2009).

D. Poses Keperawatan
1.   Pengkajian
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku dan secara tidak langsung dapat timbul gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan ansietas. Peningkatan intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan meningkatnya ansietas.
a.   Faktor Predisposisi
Berbagai teori yang dikembangkan untuk menjelaskan penyebab ansietas adalah :
1)    Dalam pandangan psikoanalitik yang dikemukakan Sigmund Freud, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen keperibadian id dan super ego. Id mewakili dorongan insting dan implus primitif individu, sedangkan super ego mkencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya individu.
2)    Menurut pandangan interpersonal yang dikemukakan oleh Sullivan ansietas timbul dari perasaan takut dari tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Hal ini juga berhubungan dengan trauma perkembangan seperti perpisahan, kehilangan yang menimbulkan individu tidak berdaya.
3)    Menurut pandangan perilaku ansietas merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang menganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang di inginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan untuk menghindari rasa sakit.
4)    Kajian keluarga menunjukan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasanya terjadi dalam suatu keluarga. Teori ini juga tumpang tindih antara gangguan ansietas dengan depresi.
5)    Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas.
b.   Stresor Pencetus
Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal atau eksternal. Stresor pencetus dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis :
1)     Ancaman terhadap integritas seseorang meliputu ketidakmampuan fisiologis yang akan terjadi atau menurunkan kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari. Pada ancaman ini, stresor yang berasal dari sumber eksternal adalah faktor-faktor yang menyebabkan gangguan fisik misalnya : infeksi virus, polusi udara. Sedangkan yang menjadi sumber internalnya adalah kegagalan mekanisme fisiologis tubuh misalnya : sistem jantung, sistem imun, pengaturan suhu dan perubahan fisiologis selama kehamilan.
2)     Ancaman terhadap sistem diri sesorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang. Ancaman yang berasal dari sumber eksternal yaitu kehilangan orang yang berarti (meninggal, perceraian, pindah kerja) dan ancaman yang berasal dari sumber internal berupa gangguan hubungan intrpersonal dirumah, tempat kerja, atau menerima peran baru.
3)     Perilaku
Ansietas dapat diekspresikan langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping dalam upaya mempertahankan diri dari ansietas. Intensitas dari perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan ansietas.
c.   Sumber Koping
Sumber koping merupakan sumber yang dapat membantu individu mengurangi atau mengatasi masalah yang dapat menimbulkan stres. Sumber koping tersebut dapat berupa keadaan ekonomi keluarga, dukungan keluarga atau sosial, kemampuan menyelesaikan masalah dan keyakinan agama atau budaya.
d.   Mekanisme Koping
Ketika mengalami ansietas, individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara kontruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Pola yang biasanya digunakan individu untuk mengatasi ansietas ringan cenderung tetap dominan ketika ansietas yang menghebat. Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis mekanisme koping :
1)  Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan un tuk memenuhi tuntutan situasi stres secara realistis.
2)  Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptif terhadap stres.
2.  Diagnosa Keperawatan
Pembentukan diagnosa keperawatan mengharuskan untuk perawat menentukan kualitas (kesesuaian) dari respon pasien, kuantitas (tingkat) dari ansietas pasien dan sifat adaptif atau maladaptif dari mekanisme koping yang digunakan (Doenges. M. 2006). Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan respon kecemasan :
a.   Respon Ansietas pada Tingkat Berat dan Panik.
b.   Respon Ansietas Tingkat Sedang.
3.  Perencanaan
Pasien harus meningkatkan keterampilannya dalam mengendalikan ansietas dan mengunakan keterampilan tersebut secara sadar dan kontruktif. Dengan cara ini klien menjadi kuat dan lebih terintegrasi (Sujono, 2009).
Rencana keperawatan : respon ansietas pada tingkat berat dan panik
Diagnosa keperawatan : ansietas berat/panik
Kriteria hasil : pasien akan mengurangi ansietasnya sampai tingkat sedang atau ringan.
Tujuan jangka pendek
Intervensi
Rasional
Pasien dapat terlindung dari bahaya
1.   Dukung dan terima mekanisme pertahanan diri klien.


2.   Berikan umpan balik pada klien tentang perilaku, stresor dan sumber koping. Hindari perhatian terhadap fobia, ritual, atau keluhan fisik.
1.  Ansietas berat dan panik dapat dikurangi dengan mengizinkan klien untuk menentukan besarnya stres yang dapat ditangani.
2.  Jika klien tidak mampu menghilangkan ansietas, ketegangan dapat mencapai tingkat panik dan klien dapat kehilangan kendali.
Klien akan mengalami situasi yang lebih sedikit menimbulkan ansietas
1.   Kurangi stimulus lingkungan, batasi interaksi klien dengan klien lain, untuk meminimalkan aspek menularnya ansietas.
1.  Perilaku klien dapat dimodifikasi dengan mengubah lingkungan dan interkasi klien dengan lingkungan.
Klien akan terlibat dalam aktivitas yang dijadwalkan sehari-hari
1.   Ikutlah terlibat dengan aktivtas klien untuk memberikan dukungan dan penguatan perilaku produktif secara sosial.
1.   Dengan mendorong aktivitas keluar rumah, perawat membatassi waktu klien yang tersedia untuk mekanisme koping destruktif dan meningkatkan partisipasi dan menikmati aspek kehidupan lainnya.
Klien akan mengalami penyembuhan dan gejala-gejala ansietas berat.
1.    Berikan mediaksi yang dapat membantu mengurangi rasa tidak nyaman pada klien.
1.   Efek hubungan terapeutik dapat ditingkatkan jika kendali kimiawi terhadap gejala memungkinkan klien untuk mengarahkan perhatian pada konflik yang mendasari

Rencana asuhan keperawatan : respon ansietas tingkat sedang
Diagnosa keperawatan : ansietas sedang
Kriteria hasil : pasien akan menunjukan cara koping adaptif terhadap stres
Tujuan jangka pendek
intervensi
rasional
Klien akan mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan tentang ansietasnya.
1.    Bantu pasien mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan yang mendasari kecemasan, kaitkan perilaku klien dengan perasaan tersebut.
1. Untuk mengadopsi respon koping yang baru, klien pertama kali harus menyadari perasaan dan mengatasi penyangkalan dan resisten yang disadari atau tidak disadari.
Pasien akan mengidentifikasi penyebab ansietas.
1.     Tinjau penilaian klien terhadap stresor, nilai-nilai yang terancam dan cara konflik berkembang.
1.   Setelah perasaan ansietas dikenali, klien harus mengerti perkembangannya termasuk stresor pencetus, penilaian stresor dan sumber yang tersedia.
Pasien akan mengimplementasikan dua respon adaptif untuk mengatasi ansietas.
1.    Bantu klien mengidentifikasi cara untuk membangun kembali pikiran, menggunakan sumber dan menguji respon koping yang baru.
1.   Individu dapat mengatasi stres dengan rmengatur distres emosional yang menyertainya melalui teknik penatalaksanaan stres.

4.  Implementasi
Implementasi merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan rencana. Hal ini karena perawat belum terbiasa dengan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Rencana yang dilakukan adalah rencana tidak tertulis, apa yang dipikirkan, dirasakan. Fokus intervensi pada klien dengan respon ansietas menurut tingkatannya, yaitu :
a.    Intervensi dalam ansietas tingkat berat dan panik
Prioritas tertinggi dari tujuan keperawatan harus ditujukan untuk menurunkan ansietas tingkat berat atau panik. Pasien dan intervensi keperawatan yang berhubungan harus supportif dan protektif.
b.    Intervensi dalam ansietas tingkat sedang
Saat ansietas pasien menurun sampai tingkat ringan atau sedang perawat dapat mengimplementasikan intervensi keperawatan reeduktif atau berorientasi pada pikiran. Intervensi ini melibatkan pasien dalam proses pemecahan masalah.

5.  Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi ini harus dilakukan terus-menerus pada respons ansietas klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Hal-hal yang perlu dievaluais meliputi :
a.    Apakah ancaman terhadap integritas fisik atau sistem diri pasien berkurang dalam sifat, jumlah, asal atau waktunya ?
b.    Apakah perilaku pasien mencerminkan ansietas tingkat ringan atau tingkat yang lebih berat ?
c.    Apakah sumber koping pasien telah dikaji dan dikerahkan dengan adekuat ?
d.    Apakah pasien mengenali ansietasnya sendiri dan mempunyai pandangan terhadap perasaan tersebut ?
e.    Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif ?
f.     Sudahkah pasien belajar strategi adaptif baru untuk mengurangi kecemasan ?
E.     Konsep Gangguan Citra tubuh
1.  Pengertian
Citra tubuh adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang struktur, bentuk, dan fungsi tubuh. Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak puas terhadap perubahan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh karena tidak sesuai dengan yang diinginkan (Keliat, 2011).
Suatu gangguan citra tubuh dapat diketahui perawat dengan mewawancarai dan mengamati pasien secara berhati-hati untuk mengidentifikasi bentuk ancaman dalam citra tubuhnya (fungsi signifikan bagian yang terlibat, pentingnya penglihatan dan penampilan fisik bagian yang terlibat); arti kedekatan pasien terhadap anggota keluarga dan anggota penting lainnya dapat membantu pasien dan keluarganya (Kozier, 2004).

2.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Citra Tubuh
Citra tubuh dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan aspek lainnya dari konsep diri. Selain itu, sikap dan nilai kultural dan sosial juga mempengaruhi citra tubuh. Pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dan pandangan orang lain. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistik terhadap dirinya, menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan membuatnya lebih merasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Proses tumbuh kembang fisik dan kognitif perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh bila dibandingkan dengan aspek lain dari konsep diri (Potter & Perry, 2005).
3.  Negatif dan Positif Citra Tubuh
Citra tubuh yang negatif merupakan suatu persepsi yang salah mengenai bentuk individu, perasan yang bertentangan dengan kondisi tubuh individu sebenarnya. Individu merasa bahwa hanya orang lain yang menarik dan bentuk tubuh dan ukuran tubuh individu adalah sebuah tanda kegagalan pribadi. Individu merasakan malu, self-conscious, dan khawatir akan badannya. Individu merasakan canggung dan gelisah terhadap badannya.
Sedangkan citra Tubuh yang positif merupakan suatu persepsi yang benar tentang bentuk individu, individu melihat tubuhnya sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Individu menghargai badan/tubuhnya yang alami dan individu memahami bahwa penampilan fisik seseorang hanya berperan kecil dalam menunjukkan karakter mereka dan nilai dari seseorang. Individu merasakan bangga dan menerimanya bentuk badannya yang unik dan tidak membuang waktu untuk mengkhawatirkan makanan, berat badan, dan kalori. Individu merasakan yakin dan nyaman dengan kondisi badannya.
4.  Tanda Dan Gejala Gangguan Citra Tubuh
Adapun tanda dan gejala dari gangguan citra tubuh yaitu menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah, tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi, menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif pada tubuh, preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan ketakutan (Azizah, Lilik.M. 2011).
5.  Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Citra Tubuh
a.   Pengkajian
Citra tubuh adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya , termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang struktur, bentuk, dan fungsi tubuh. Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak puas terhadap perubahan struktur, bnetuk, dan fungsi tubuh karena tidak sesuai dengan yang diinginkan. Pengkajian perubahan citra tubuh terintegrasi dengan pengkajian lain. Setelah diagnosa, tindakan operasi dan program terapi biasanya tidak segera tampak respon pasien terhadap perubahan-perubahan. Tetapi perawat perlu mengkaji kemampuan pasien untuk mengintegrasikan perubahan citra tubuh secara efektif (Keliat, 2011).
Data objektif  yang dapat diobservasi pada gangguan citra tubuh adalah sebagai berikut :
1)  Perubahan dan kehilangan anggota tubuh, baik struktur, bentuk, maupun fungsi.
2)  Pasien menyembunyikan atau memamerkan bagian tubuh yang terganggu.
3)  Pasien menolak melihat bagian tubuh.
4)  Pasien menolak menyentuh bagian tubuh.
Data subjektif untuk gangguan citra tubuh adalah sebagai berikut :
a.   Pasien mengungkapkan penolakan terhadap :
1)  Perubahan anggota tubuh saat ini, misalnya tidak puas dengan hasil operasi.
2)  Anggota tubuh yang tidak berfungsi
3)  Interaksi dengan orang lain
b.   Pasien mengungkapkan perasaan tidak berdaya, tidak berharga, dan keputusasaan
c.   Pasien mengungkapkan keinginan terlalu tinggi terhadap bagian tubuh yang terganggu
d.   Pasien sering mengatakan merasa kehilangan
e.   Pasien merasa asing terhadap bagian tubuh yang hilang (Keliat, 2011).

b.    Diagnosa Keperawatan
Selama pasien dirawat, perawat melakukan tindakan untuk diagnosa potensial, dan akan dilanjutkan oleh perawat di Unit Rawat Jalan untuk memonitor kemungkinan diagnosa aktual.  Beberapa diagnosa gangguan citra tubuh adalah potensial gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan efek  pembedahan (Keliat, 2011).
c.    Tindakan Keperawatan
1)    Tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan citra tubuh bertujuan :
a)  Pasien mampu mengidentifikasi citra tubuhnya.
b)  Pasien mempu meningkatkan penerimaan terhadap citra tubuh.
c)  Pasien mampu mengidentifkasi aspek positif diri.
d)  Pasien mampu mengetahui cara untuk meningkatkan citra tubuh.
e)  Pasien mampu melakukan cara untuk meningkatkan citra tubuh.
f)   Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa terganggu.
2)    Tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan citra tubuh adalah sebagai berikut :
a)     Diskusikan persepsi pasien tentang citra tubuhnya dahulu dan saat ini, perasaaan, dan harapan terhadap citra tubuhnya saat ini.
b)     Motivasi pasien untuk melihat bagian tubuh yang hilang secara bertahap, bantu pasien menyentuh bagian tersebut.
c)     Diskusiakan aspek positif diri.
d)     Bantu pasien untuk meningkatkan fungsi bagian tubuh yang terganggu.
e)     Ajarkan pasien untuk meningkatkan citra tubuh dengan cara sebagai berikut :
Gunakan prosthesis, kosmetik, atau alat lain sesegera mungkin gunakan pasien yang baru. Motvasi pasien untuk melakukan aktivitas yang mengarah pada pembentukan tubuh yang ideal.
f)      Lakukan interaksi secara bertahap dengan cara sebagai berikut :
Susun jadwal kegiatan sehari-hari, Motivasi pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan terlibat dalam aktivitas social dan keluarga, Motivasi pasien untuk mengunjungi teman atau orang lain yang berarti atau mempunyai peran penting bagi dirinya, Beri pujian terhadap keberhasilan pasien dalam melakukan interaksi (Keliat, 2011).

3)    Tindakan keperawatan untuk keluarga bertujuan :
a)  Keluarga mampu mengenal masalah gangguan citra tubuh
b)  Keluarga mampu mengetahui cara mengatasi masalah gangguan  citra tubuh
c)  Keluarga mampu merawat pasien dengan gangguan citra tubuh
d)  Keluarga mampu menyusun rencana tindakan untuk pasien dengan gangguan citra tubuh.
4)    Tindakan keperawatan untuk keluarga adalah sebagai berikut :
a)  Jelaskan kepada keluarga tentang gangguan citra tubuh yang terjadi pada pasien.
b)  Jelaskan kepada keluarga tentang cara mengatasi gangguan citra tubuh.
c)  Ajarkan kepada kelurga tentang cara merawat pasien :
Menyediakan fasilitas untuk memenuhi pasien dirumah, Memfasilitasi interaksi dirumah, Melaksanakan kegiatan dirumah dan kegiatan social, Memberikan pujian yang telah dilakukan pasien.
d)    Bersama keluarga susun tindakan yang akan dilakukan keluaraga untuk gangguan citra tubuh.
e)    Beri pujian yang realistis terhadap keberhasilan keluarga ( Keliat, 2011).
d.  Evaluasi
Keberhasilan tindakan terhadap perubahan gambaran tubuh pasien dapat diidentifikasi melalui perilaku pasien yaitu memulai kehidupan sebelumnya, termasuk hubungan interpersonal dan sosial, pekerjaan dan cara berpakaian, mengemukakan perhatiannya terhadap perubahan citra tubuh, memperlihatkan kemampuan koping, kemampuan meraba, melihat, memperlihatkan bagian tubuh yang berubah, kemampuan mengintegritasikan perubahan dalam kegiatan (pekerjaan, rekreasi dan seksual), harapan yang disesuaikan dengan perubahan yang terjadi, mampu mendiskusikan rekonstruksi Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir :
S = Respons subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Misalnya : pasien mengatakan malu pada kakainya yang diamputasi sehingga tidak dapat bekerja seperti dahulu dan pasien berharap dapat melakukan aktvitas walaupun kakinya diamputasi.
O = Respons objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Misalnya : kaki pasen masih ditutup oleh sarung tetapi pasien mulai mau melihat kakinya yang diamputasi. Ekspresi wajah murung, tetapi tampak memperhatikan perawat saat perawat menjelaskan bahwa pasien masih berguna.

A = Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau     muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
Misalnya : masalah belum teratasi.

P Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respons klien. Misalnya : menganjurkan pasien untuk mengidentifikasi potensi fungsi tubuh yang lain, menganjurkan pasien untuk meningkatakan citra tubuh, motivasi pasien untuk menggunakan bagian tubuh yang masih berfungsi (Videbeck, Shela. 2008).


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
  1. Kesimpulan
Ansietas menurut Stuart (1995) dalam Sujono (2009) adalah kekhwatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki abjek yang spesifik (Sujono, 2009).
Citra tubuh adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang struktur, bentuk, dan fungsi tubuh. Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak puas terhadap perubahan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh karena tidak sesuai dengan yang diinginkan (Keliat, 2011).
      B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat bersifat membangun bagi pembaca pada umumnya. Dan penulis juga menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik.M. 2011. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktek Klinik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Depkes RI. 1993, Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa di Indonesia. III Depkes RI.
Doenges. M. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hawan. D. 2004. Manajemen Stress, cemas dan depresi. Jakarta : Gaya Baru.
Keliat,.B.A. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC.
Sujono. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Videbeck, Shela. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.